NH Dini
Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati
Srihardini. Dia dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa
Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Ayahnya,
Salyowijoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api. Ibunya bernama Kusaminah.
Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah
menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”. Tulisan itu dianggap
membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Namun, setelah
mengetahui penulisnya anak-anak, Belanda mengalah.
Sebagai pengarang, Nh. Dini termasuk salah satu
pengarang yang kreatif. Banyak karya yang telah ditulisnya, baik itu puisi,
cerpen, maupun novel. Karya puisi yang telah ditulisnya ialah “Februari”
(1956), “Pesan Ibu” (1956), “Kapal di Pelabuhan Semarang” (1956), “Kematian”
(1968), “Berdua” (1958), “Surat Kepada Kawan” (1964), “Bertemu Kembali” (1964),
“Dari Jendela” (1966), “Sahabat” (1968), “Kotaku” (1968), “Penggembala” (1968),
“Terpendam” (1969), “Pulau yang Ditinggal” (1969), “Bulan di Abad yang Akan
Datang” (1969), “Anakku Bertanya” (1969), “Tetangga” (1970), “Kelahiran ”
(1970), “Burung Kecil” (1970), “Pagi Bersalju” (1970), “Sesaudara” (1970), “Jam
Berdentang” (1970), “Musim Gugur di Hutan” (1970) “Penyapu Jalan di Paris”
(1970), “Yang Telah Pergi”(1970), “Rinduku” (1970). “Tak Ada yang Kulupa”
(1971), Le havre” (1971), “Paeis yang Kukenal” (1971), “Mimpi” (1971), “Dua
yang Pokok” (1971), dan “Kemari Dekatkan Kursimu” (1971).
Cerita pendek yang ditulisnya terkumpul dalam tiga
kumpulan cerita pendek, yaitu Dua Dunia (1956), Tuileries (1982), serta Segi
dan Garis (1983). Kumpulan cerpen Dua Dunia terdiri atas tujuh cerpen, yaitu
“Dua Dunia”, “Istri Prajurit”, “Djatayu”, “Kelahiran”, “Pendurhaka”, “Perempuan
Warung, dan “Penemuan”. Kumpulan cerpen Tuileries terdiri atas dua belas
cerpen, yaitu “Tuileries”, “Kucing”, “Pabrik”, “Hari Larut di Kampung Borjuis”,
“Kalipasir”, “Jenazah”, “Pencakar Langit”, “Matinya Sebuah Pulau”, “Pasir
Hewan”, “Burung Putih”, “Tanah yang Terjanjikan”, dan “Warga Kota”.Kumpulan
cerpen Segi dan Garis terdiri atas dua belas cerpen, yaitu “Di Langit di Hati”,
“Di Pondok Salju”, “Hujan”, “Ibu Jeantte”, “Janda Muda”, “Kebahagiaan”, “Keluar
Tanah Air”, “Pandanaran”, “Penanggung Jawab Candi”, “Perjalanan”, “Sebuah
Teluk”", dan “Wanita Siam”. Kumpulan cerpen yang lain ialah Liar (1989)
(perubahan judul kumpulan cerpen Dua Dunia) dan Istri Konsul (1989)
Novel yang telah ditulisnya ialah Dua Dunia, (1956),
Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku
Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Langit dan
Bumi Sahabat Kami (1979), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Sekayu
(1981), Kuncup Berseri (1982), Orang-Orang Trans (1985), Pertemuan Dua hati
(1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun (1993), dan Kemayoran (2000).
Widji Tukul
Wiji Thukul adalah seorang seniman cum aktivis yang
turut dihilangkan secara paksa oleh rezim Orde Baru Soeharto karena aktifitas
seni kerakyatannya dianggap provokatif, subversif dan mengancam stabilitas
negara. Sejak masa remaja ia sudah aktif menggeluti dunia seni teater dan
sastra. Karya-karya ciptaannya terkesan nyeleneh, karena tidak membicarakan
keindahan, justru cenderung penuh dengan nada-nada protes akan kenyataan hidup
kaum pinggiran yang begitu sulit dijalani. Berbeda dari kebanyakan seniman di masanya
yang alergi pada politik, Wiji Thukul dengan tegas melibatkan diri dalam
aktivitas politik pergerakan dan menentang keras rezim militeristik Orba yang
telah menciptakan keterpurukan Bangsa dengan menghamba pada kepentingan
imperium modal asing.
(Diolah dari berbagai sumber)