Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Oktober 2014

Sastrawan-sastrawan Indonesia bagian 2

Diposting oleh Unknown



NH Dini
Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Dia dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Ayahnya, Salyowijoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api. Ibunya bernama Kusaminah. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Namun, setelah mengetahui penulisnya anak-anak, Belanda mengalah.

Sebagai pengarang, Nh. Dini termasuk salah satu pengarang yang kreatif. Banyak karya yang telah ditulisnya, baik itu puisi, cerpen, maupun novel. Karya puisi yang telah ditulisnya ialah “Februari” (1956), “Pesan Ibu” (1956), “Kapal di Pelabuhan Semarang” (1956), “Kematian” (1968), “Berdua” (1958), “Surat Kepada Kawan” (1964), “Bertemu Kembali” (1964), “Dari Jendela” (1966), “Sahabat” (1968), “Kotaku” (1968), “Penggembala” (1968), “Terpendam” (1969), “Pulau yang Ditinggal” (1969), “Bulan di Abad yang Akan Datang” (1969), “Anakku Bertanya” (1969), “Tetangga” (1970), “Kelahiran ” (1970), “Burung Kecil” (1970), “Pagi Bersalju” (1970), “Sesaudara” (1970), “Jam Berdentang” (1970), “Musim Gugur di Hutan” (1970) “Penyapu Jalan di Paris” (1970), “Yang Telah Pergi”(1970), “Rinduku” (1970). “Tak Ada yang Kulupa” (1971), Le havre” (1971), “Paeis yang Kukenal” (1971), “Mimpi” (1971), “Dua yang Pokok” (1971), dan “Kemari Dekatkan Kursimu” (1971).

Cerita pendek yang ditulisnya terkumpul dalam tiga kumpulan cerita pendek, yaitu Dua Dunia (1956), Tuileries (1982), serta Segi dan Garis (1983). Kumpulan cerpen Dua Dunia terdiri atas tujuh cerpen, yaitu “Dua Dunia”, “Istri Prajurit”, “Djatayu”, “Kelahiran”, “Pendurhaka”, “Perempuan Warung, dan “Penemuan”. Kumpulan cerpen Tuileries terdiri atas dua belas cerpen, yaitu “Tuileries”, “Kucing”, “Pabrik”, “Hari Larut di Kampung Borjuis”, “Kalipasir”, “Jenazah”, “Pencakar Langit”, “Matinya Sebuah Pulau”, “Pasir Hewan”, “Burung Putih”, “Tanah yang Terjanjikan”, dan “Warga Kota”.Kumpulan cerpen Segi dan Garis terdiri atas dua belas cerpen, yaitu “Di Langit di Hati”, “Di Pondok Salju”, “Hujan”, “Ibu Jeantte”, “Janda Muda”, “Kebahagiaan”, “Keluar Tanah Air”, “Pandanaran”, “Penanggung Jawab Candi”, “Perjalanan”, “Sebuah Teluk”", dan “Wanita Siam”. Kumpulan cerpen yang lain ialah Liar (1989) (perubahan judul kumpulan cerpen Dua Dunia) dan Istri Konsul (1989)

Novel yang telah ditulisnya ialah Dua Dunia, (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Sekayu (1981), Kuncup Berseri (1982), Orang-Orang Trans (1985), Pertemuan Dua hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun (1993), dan Kemayoran (2000).



Widji Tukul
Wiji Thukul adalah seorang seniman cum aktivis yang turut dihilangkan secara paksa oleh rezim Orde Baru Soeharto karena aktifitas seni kerakyatannya dianggap provokatif, subversif dan mengancam stabilitas negara. Sejak masa remaja ia sudah aktif menggeluti dunia seni teater dan sastra. Karya-karya ciptaannya terkesan nyeleneh, karena tidak membicarakan keindahan, justru cenderung penuh dengan nada-nada protes akan kenyataan hidup kaum pinggiran yang begitu sulit dijalani. Berbeda dari kebanyakan seniman di masanya yang alergi pada politik, Wiji Thukul dengan tegas melibatkan diri dalam aktivitas politik pergerakan dan menentang keras rezim militeristik Orba yang telah menciptakan keterpurukan Bangsa dengan menghamba pada kepentingan imperium modal asing.

Wiji Thukul kini telah menjadi salah satu legenda dalam sejarah politik pergerakan di Indonesia.  “Hanya Ada Satu Kata : Lawan !” merupakan penggalan larik salah satu puisinya yang berjudul “Peringatan” telah menjelma ibarat kredo magis yang mampu membakar semangat bagi kaum aktivis pergerakan rakyat. Hingga sekarang, Ide dan cita-citanya masih terus hidup disuarakan lewat mulut-mulut manusia yang kian banyak membacai sajak-sajak miliknya. Bahkan sketsa gambar wajahnya pun telah menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan para penguasa yang menyengsarakan rakyatnya.

(Diolah dari berbagai sumber)
Read More

Sastrawan-Sastrawan Indonesia bagian 1

Diposting oleh Unknown
Ada begitu banyak Sastrawan di Negara ini, tetapi mungkin hanya sedikit yang bisa menembus kancah sastra dunia. Contoh dari beberapa sastrawan lama yang berhasil menembus dunia adalah Pramoedya Ananta Toer. Ada pula sastrawan lain yang terkenal seperti Chairil Anwar, NH Dini, Widji Thukul, kemudian ada juga Buya Hamka. Kalau saya boleh menyebutkan, mereka adalah sastrawan klasik, di mana cerita tersebut tidak mengenal batasan waktu, isinya selalu relevan terlepas dari siapa yang membaca atau di mana cerita itu diterbitkan. Kata klasik sendiri tidak melalui mengacu pada umur karya tersebut. Di sini, klasik mengindikasikan cerita tersebut mampu memberikan nilai resonansi yang kuat bagi pembacanya.



Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer atau sering dipanggil dengan sebutan Pram saja, merupakan salah satu pengarang produktif yang menorehkan prestasi di dunia sastra Indonesia. Banyak dari karangan-karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, salah satunya adalah Bumi Manusia, buku pertama dari tetralogi pulau buru, sebuah roman yang beliau tulis ketika diasingkan ke pulau Buru.

Beliau lahir dari seorang Ayah yang berprofesi sebagai guru dan Ibu yang berjualan nasi. Pram dikenal sebagai penulis yang handal, di mana tulisan-tulisannya memiliki ciri yang kuat, tegas, dan blak-blakan.


Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 22 juli 1922. Tulus adalah nama ayahnya dan saleha ibunya. Mereka berasal dari payakumbuh, sumatera barat. Chairil lahir dalam perantauan kedua orangtuanya ke medan. Dia bersekolah di HIS, Medan. HIS merupakan sekolah dasar pada zaman belanda. Kemudian dia melanjutkan ke SMP, yang ada pada Zaman penjajah dulu di sebut MULO. Di sekolah menengah ini dia hanya duduk di kelas pendahuluan (Voorklaas) dan kelas satu, kemudian ia pindah ke jakarta pada tahun 1941, ketika berumur 19 tahun. Dia tidak tamat MULO karena kesulitan ekonomi. Sajak yang paling terkenal dari seorang Chairil Anwar adalah sajak berjudul “Aku”.
Ada beberapa tuduhan plagiat yang pernah dialamatkan kepada Chairil Anwar sewaktu dia masih hidup. Diberitakan bahwa sajaknya yang berjudul “Datang Dara Hilang Dara” merupakan hasil palgiat dari sajak Hsu Chih Mo yang berjudul “A song of the sea”. Tidak hanya itu saja yang ia contoh, tetapi juga banyak sajak-sajak lain seperti “karawang-Bekasi” yang diambil dari sajak Archibald MacLeish yang berjudul “ The young dead soldiers”. Demikian juga dengan sajaknya “ kepada peminta-minta”, “Rumahku”, dan lain-lain.

Berita itu tentu saja mengejutkan dunia sastra Indonesia sehingga timbul polemik antara yang menyerang dan mempertahankan Chairil. Namun orang-orang pun tidak dapat membantah peranan dan jasa besar Chairil dalam sejarah sastra Indonesia.



Buya Hamka
Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.  Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.  Karya-karya Buya Hamka yang paling terkenal adalah tenggelamnya kapal van der wijck, yang pernah dituduh Pram sebagai plagiat.
Read More

Jumat, 19 September 2014

Candi Borobudur

Diposting oleh Unknown

Candi Borobudur merupakan warisan nenek moyang yang sangat terkenal. Candi yang dibuat di sekitar abad ke-8 di masa Raja Samaratungga itu terletak di kabupaten Magelang, di provinsi Jawa Tengah. Bentuk candi borobudur seperti piramida berundak yang semakin lama semakin mengerucut ke atas dengan stupa-stupa hampir berada di setiap undakannya.

Selain memiliki nilai seni yang tinggi, Borobudur juga menjadi bukti peradaban manusia pada masa lalu ini juga sarat dengan nilai filosofis. Candi ini mengusung konsep mandala yang melambangkan kosmologi alam semesta dalam ajaran Buddha, bangunan megah ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni dunia hasrat atau nafsu (Kamadhatu), dunia bentuk (Rupadhatu), dan dunia tanpa bentuk (Arupadhatu). Jika dilihat dari ketinggian, Candi Borobudur laksana ceplok teratai di atas bukit. Dinding-dinding candi yang berada di tingkatan Kamadatu dan Rupadatu sebagai kelopak bunga, sedangkan deretan stupa yang melingkar di tingkat Arupadatu menjadi benang sarinya. Stupa Induk melambangkan Sang Buddha, sehingga secara utuh Borobudur menggambarkan Buddha yang sedang duduk di atas kelopak bunga teratai.

Kata borobudur sendiri memiliki beragam macam makna. Versi pertama mengatakan bahwa nama Borobudur berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “bara” yang berarti “kompleks candi atau biara” dan “beduhur” yang berarti “tinggi/di atas”. Versi kedua mengatakan bahwa nama Sejarah Candi Borobudur kemungkinan berasal dari kata “sambharabudhara” yang berarti “gunung yang lerengnya berteras-teras”. Versi ketiga yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari kata “bhoro” yang berarti “biara” atau “asrama” dan “budur” yang berarti “di atas”.

Pendapat Poerbotjoroko ini dikuatkan oleh Prof. Dr. W.F. Stutterheim yang berpendapat bahwa Bodorbudur berarti “biara di atas sebuah bukit”. Sedangkan, versi lainnya lagi yang dikemukakan oleh Prof. J.G. de Casparis berdasarkan prasati Karang Tengah, menyebutkan bahwa Borobudur berasal dari kata “bhumisambharabudhara” yang berarti “tempat pemujaan bagi arwah nenek moyang”.

(Artikel dan foto disusun dari berbagai sumber).
Read More